A.PENDAHULUAN
a.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk yang
berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya
untuk menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu
hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu
berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak
menyandang gelar manusia berbudaya.
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistemagama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari
a.2 Rumusan Masalah
1) Mengetahui kebudayaan melayu di
Pontianak.
Suku Melayu adalah nama yang menunjuk pada suatu
kelompok yang ciri utamanya adalah penuturan bahasa Melayu.
Suku Melayu bermukim di sebagian besar Malaysia, pesisir timur Sumatera,
sekeliling pesisir Kalimantan,
Thailand Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata.
Di Indonesia, jumlah suku Melayu sekitar 15% dari seluruh populasi, yang
sebagian besar mendiami propinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
dan Kalimantan Barat
Meskipun
begitu, banyak pula masyarakat Minangkabau, Mandailing,
dan Dayak yang
berpindah ke wilayah pesisir timur Sumatra dan pantai barat Kalimantan, mengaku
sebagai orang Melayu. Selain di Nusantara, suku Melayu juga terdapat di Sri Lanka, Kepulauan
Cocos , dan Afrika
Selatan
B.
PEMBAHASAN
b.1
Pengertian budaya
Budaya adalah suatu pola hidup
menyeluruh.budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya
turut menentukan perilaku komunikatif.Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar
dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang
mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat
dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang
dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai
budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan
alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa
tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang
layak dan menetapkan duniamakna dan nilai logis yang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan
pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang
menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas
seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
b.2
Unsur-Unsur Budaya
Ada beberapa pendapat ahli yang
mengemukakan mengenai komponen kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
Melville J. Herskovits menyebutkan
kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
1)
Alat-alat teknologi
2)
ekonomi
3)
Keluarga
4)
Kekuasaan politik
Bronislaw Malinowski mengatakan ada
4 unsur pokok yang meliputi:
1)
Norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
2)
Organisasi ekonomi
3)
Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga
adalah lembaga pendidikan utama)
4)
Organisasi kekuatan (politik)
b.3
Ciri-Ciri Kebudayaan
Ciri-ciri kebudayaan tersebut adalah
senantiasa berubah, tingkah laku yang dipalajari, pola tingkah laku yang
dipelajari, hasil dari tingkahlaku orang yang dipelajari, dibagi oleh anggota
masyarakat, dan dialihkanoleh para anggota.
1.
Senantiasa berubah
Kebudayaan itu bersifat dinamis,
selalu berubah sesuai dengan perkembangan situasi atau zaman yang
membingkainya.
2. Tingkahlaku yang dipelajari
Kebudayaan sangat mempengaruhi
pembentukan manusia.Anggota masyarakat terus melakukan proses belajar, misalnya
dari orang tua, teman, lingkungan sekolah, lembaga keagamaan, dan sebagainya.
3. Pola tingkah laku yang dipelajari
Bahwa tingkah laku yang dipelajari
mempunyai hubungan di antara unsur-unsur pola tersebut.
4. Hasil dari tingkah laku yang
dipelajari
Ide dari seseorang merupakan hasil
dari apa yang ia pelajari orang atau kelompok yang lain. Ada tiga wujud hasil
kebudayaan yang dipalajari, yaitu menyangkut nilai-nilai, gagasan-gagasan,
norma dan sebagainya; kompleks tindakan-tindakan berpola; dan pengetahuan untuk
menghasilkan benda-benda hasil karya manusia.
5. Dibagi oleh anggota masyarakat
Tingkah laku yang dipelajari itu
hasil-hasilnya tidak milik seseorang atau kelompok tertentu. Ia merupakan milik
masyarakat secara menyeluruh. Nilai dan sikap itu dipelajari dari masyarakat.
6. Dialihkan para anggota
Tingkah laku yang dipelajari
dialihkan atau ditularkan dari satu generasi berikutnya melalui bermacam-macam
cara, misalnya melalui tulisan di tembok atau prasasti, dan sebagainya.
b.4
Kebudayaan masyarakat suku melayu di Pontianak
- · Tradisi Tepung Tawar
Upacara adat Tepung Tawar kini telah
menjadi sebuah keharusan, menjadi sebuah trend dijaman moderns ini, tentunya
kita melirik kembali tentang keberadaan upacara tradisi Tepung tawar ini yang
pada jaman dahulu seperti menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat yang
melaksanakan sebuah upacara-upacara baik upacara di dalam kehidupan rumah
tangga maupun upacara bagi masyarakat pada umumnya. Upacara tradisi Tepung
Tawar umumnya bayak dilakukan oleh masyarakat Melayu dan Suku Dayak akan tetapi
pada masyarakat Melayu upacara tepung tawar yang dikenal pada umumnya ada empat
jenis yakni Tepung Tawar Badan, Tepung Tawar Mayit, Tepung Tawar Peralatan
serta Tepung tawar Rumah. Dari empat jenis Tepung Tawar tersebut masing-masing
mempunyai perbedaan baik yang menyangkut peralatan maupun bahan-bahan yang
dipergunakan. Seperti Tepung Tawar Badan komposisinya terdiri dari, tepung
beras, beras kuning, berteh daun juang-juang, daun gandarusa ,daun pacar, serta
miyak bau (miyak Bugis). Miyak bau nantinya diolesi pada bagian tubuh tertentu
dan bagi kaum wanita cukup dengan syarat tidak perlu menyentuh bagian tubuh
(pusar)
Tradisi tepung tawar badan
diperuntukan bagi anak kecil yang melaksanakan gunting rambut atau naik ayun
(naik tojang), melaksanakan pernikahan, dan yang akan dihitan bagi laki-laki
dan peremtuan. Objek yang akan diberikan menurut tata cara yang berlaku, serta
dilampas dengan memakai daun juang-juang maupun daun ribu-ribu yang telah di
celupkan pada seperangkat peralatan tepung tawar. Adapun bagian-bagian yang
dikenakan secara berurutan pada kening, bahu kanan,bahu kiri, tangan kanan,
tangan kiri, kaki kanan, serta kaki kiri sementara paduan berteh dihamburkan
pada kiri dan kanan tersebut. Ritual tepung tawar tidak bisa dikerjakan
sermbarangan karena menggunakan lafaz khusus yang tidak bisa diungkapkan disini,
perlu diterima terlebih dahulu pada ahlinya.
Tepung tawar bisa juga dilakukan
bagi keluarga yang meninggal setelah tiga hari dimakamkan, umumnya dilakukan
sebagai pembersih peralatan yang dipakai mandi mayit, peralatan yang disimpan
diluar rumah di tepung tawar yang disebut dengan acara Pesulli (pembersihan
peralatan mayit). Peralatan di dalam kehidupan seperti kendaraan sepeda motor,
mobil, sampan,umumnya kendaraan ini dipasang pada saat baru dipakai dan ketika
mengalami musibah. Tujuannya untuk meminta keselamatan dengan kenyakinan bahwa
masih ada kekuatan gaib yang mempengaruhi di dalam kehidupan dan tetap memohon
keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tepung tawar mayit dengan tepung
tawar yang lain tidak jauh berbeda hanya minyak bau yang tidak dipakai dan
diganti dengan telur ayam yang diletakan pada tong tempat air memandikan mayit.
Tujuan dari upacara tepung tawar mayit yang dikenal dengan Pesilli agar ahli
keluarga yang ditinggalkan senantiasa sabar menerima cobaan dari Allah. Dapat
terhindar dari musibah dengan memohon agar dijauhkan dari segala musibah yang
datang dengan mohon keselamatan, tidak hanya manusia dan juga peralatan yang
telah dipakai dengan wujud terimakasih telah dipergunakan sebagai peralatan
mandi.
Pada pelaksanaan ritual tepung tawar
mayit peralatan yang dipakai dilampas dengan daun ribu-ribu serta peralatan
yang lainnya. Peralatan yang sudah bersih baru boleh dibawa masuk kedalam rumah
yang sebelumnya di simpan diluar rumah. Telur yang disimpan pada tong dibuang
segera dan tempat pemandian mayit ditaburi dengan abu dapur sebagai ungkapan
bahwa di dalam kehidupan semua pasti mati dan yang telah terjadi menjadi pasrah
laksana abu yang kembali ketempat asalnya.
Upacara ritual tepung tawar
peralatan sama seperti tepung tawar yang lainnya, hanya tidak menggunakan miyak
bau. Biasanya yang ditepung tawar ini adalah kendara yang baru maupun kendaran
yang telah mendapat musibah seperti setelah kecelakaan atau kendaraan hilang
ditemukan kembali. Kepercayaan masyarakat dengan menepung tawar kendaraan bahwa
, kendaraan yang dipergunakan bisa membawa keselamatan dan juga bisa
mendatangkan musibah, karena kendaraan tersebut mempergunakan bahan-bahan yang
terbuat dari besi, hal ini disebut tua besi, bahwa besi bisa membawa tuah
keberuntungan dan juga bisa membawa kerugian. Kepercayaan ini masih melekat
dimasyarakt pada umumnya bahwa besi tersebut mengandung kekuatan gaib ( ada
penunggunya mahluk halus yang sering mengikuti besi). Sehingga kepercayaan ini
tidak terlepas dari memohon agar kekuatan yang ada tersebut dapat menjadi
sebuah kekuatan positip dapat mempengaruhi jiwa pemakainya. Dan meminta ijin
agar selalu di dalam keselamatan. Jika ini tidak dilakukan dengan tepung tawar
sebagian kepercayaan masyarakat akan mempengaruhi jiwa, kendaraan bisa menabrak
atau ditabrak dan bahkan bisa hilang dicuri yang biasa diungkapkan dengan
kata-kata “Sueh”. Lafaz doa yang disebutkan tidak bisa sembarangan melalui tata
cara tertentu.
Upacara Tepung Tawar bagi anak bayi
juga dilakukan dengan upacara ritual dengan segala persiapan yang disediakan
bagi ahli keluarga yang mempunyai hajatan. Peralatan yang perlu dipersiapkan
dan dengan lengkap harus sudah ada jika acara dimulai. Adapun perlengkapan
alat-alat tersebut antara lain; Beras yang ditumbuk dicampur dengan daun pandan
dan kunyit dibuat tepung.Daun-daun yang diperlukan untuk alat tepung tawar
ialah daun kelapa yang dibuat seperti bunga tapak bebek diberi bertangkai
disebut pentawar, dengan jumlah dua buah. Kemudian daun-daun yang disusun
dengan jumlah lebih kurang dan puluh jenis diikat kemudian dipotong ujung
pangkalnya sehingga rata permukaannya disebut tetungkal dengan jumlah tiga
buah.Nyiru kecil yang terbuat dari anyaman kulit bamboo atau disebut juga layau
digunakan untuk mengipas-ngipas badan disebut tudung bakul. Besi, kayu arus,
bekas kayu baker diikat dengan tali disebut mereka pengkeras. Benang diikat
yang diputarkan diatas kepala menurut mereka mudah-mudahan keluarga itu dapat
diikat hatinya menjadi suatu ikatan yang kuat dan kokoh tak ubahnya seperti
benang itu.Tepung yang sudah ditumbuk dan diaduk di dalam tabung bamboo yang
berukuran garis tengahnya lebih kurang dua puluh senti meter, dan setingginya
delapan belas sentimeter yang terbuat dari bamboo Betung gunanya untuk
menyimpan tepung yang sudah diaduk, tabung bambu ini disebut tudung telak.
Beras dimasukan ke dalam gantang, sirih,pinang, tembakau,gambir, kapur,uang
logam secukupnya disebut pengkeras. Beras yang dicelup dengan kunyit disebut
beras kuning atau beras kunyit. Anggota yang melaksanakannya tiga orang untuk
tetungkalnya dan dua orang untuk melaksanakan pentawarnya, dengan jumlah lima
orang.
Cara melaksanakan tepung tawar ini
setelah tepung diaduk, tetungkal dan penawar yang terbuat dari daun-daun dan
daun kelapa itu dicelupkan pada tepung kemudian dicapkan pada kening, tangan
kiri dan kanan, pusat, kaki kiri dan kanan dengan membaca selawat nabi atau doa
untuk memohon keselamatan. Setelah selesai upacara Tepung tawar maka
dilanjutkan dengan acara selanjutnya yaitu menggunting rambut bayi. Undangan
yang hadir pada kegiatan tersebut adalah family dan tetangga yang terdekat.
Teori Interaksionisme simbolik
sebagaimana dikemukakan oleh Veeger (1993:36, dalam Natsir) adalah mengambarkan
masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti sistem,struktur
sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisan sosial, struktur
institusional, pola budaya, norma-norma dan nilai-nilai sosial, melainkan
dengan memakai istilah “aksi”. Seperti peranan upacara adat yang tergambar akan
menjadi sebuah daya rekat masyarakat, sehingga upacara tersebut semakin sering
dilakukan akan semakin dapat mempererat yang sangat berkaitan satu dengan
lainnya, sehingga menjadi sebuah kebutuhan dan adanya saling ketergantungan dan
keseimbangan di dalam kehidupan bersama.
Perlunya dilestarikan nilai-nilai
ritual upacara adat, karena di dalam upacara tersebut syarat dengan nilai-nilai
di dalam kehidupan terutama kearifan local, bahwa manusia tidak terlepas dari
kehilapan dan kesalahan, selalu memohon ampun dan petunjuk kepada Allah SWT,
dengan terus melaksanakan kewajiban di dalam kehidupan di dunia, saling gotong
royong, menghormati yang tua, menghargai lingkungan baik benda-benda yang
bergerak maupun benda yang tidak bergerak bahwa barang-barang tersebut
mempunyai manfaat bagi kehidupan dan itu adalah bagian dari makluk Allah SWT
yang tidak bisa disembarangkan dan juga air dan lingkungan agar selalu dijaga
kebersihannya yang digambarkan dengan air tepung tawar yang dimaksudkan agar
jagan saling curiga dan berprasangka buruk dengan yang lain dan mempunyai hati
yang bersih. Selalu mempererat tali siratul rahmi dengan saudara-saudara yang
ada disekitar kita terjaganya rasa solidaritas sesama di dalam kehidupan yang
beragam, sehingga tercapai keingin bersama hidup di dalam keteraman terhindar
dari mala petaka dan di jauhi bencana demi terwujudnya cita-cita semua manusia
di muka bumi ini
- Tradisi Saprahan (Makan Dalam Kebersamaan)
Kata Saprahan sudah asing terdengar
di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini adalah sebuah jamuan makan yang
melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan
dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi tersebut telah berganti menjadi
sebuah trend baru prasmanan, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang
atau masyarakat dalam satu majelis, saling berbagi rasa tanpa syak swangka,
saling berhadapan sembari menikmati hidangan makanan di hadapannya.
Tradisi yang dibuat penuh dengan
syarat nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat kini telah bergeser dari acara
yang sebenarnya, jika kita lihat pada masa kini yang duduk di dalam satu
majelis sudah tidak bisa membedakan dan tidak mengetahui posisi masing-masing
menurut struktur social didalam masyarakat hal ini akan semakin sumbang jika
yang saling berhadapan adalah bukan dari ahlul bait akan tetapi juga bukan
muhrimnya sehingga eksestensi nilai di dalam kebersamaan akan menjadi suasana
yang berbeda. Bagi pria dan wanita tentunya ada perbedaan di dalam majelis dan
bagi bukan muhrim dapat dilakukan secara bergantian, terkecuali dalam jamuan
keluarga, akan tetapi di dalam masyarakat yang datang dari berbagai lapisan
harus dipahami, ya tau dirilah! Kita harus berada dimana?. Pemisahan ini bahwa
di dalam tradisi Islam dilarang keras untuk duduk bersama yang bukan muhrim.
Kembali pada persoalan pokok bahwa
yang disebut dengan Seprahan adalah shap-shap atau baris-baris mereka yang
duduk menghadap makanan. Pada makanan ada juga yang dialas dengan kain putih
maupun hijau yang membentang panjang juga ada yang ditumpuk pada satu talam.
Panjang kain saprahan minimal 2 meter yang ukuran dapat menampung 10 atau 5
orang yang saling berhadapan. Mereka yang berhadapan biasa disebut barisan atau
sap yang resminya 3 sap. Sap terdiri menurut strata social dari pada undangan,
atau kedudukan mereka dimasyarakat. “Sap pertama biasanya mereka yang memiliki
kedudukan penting, ketika pada zaman dahulu adalah diduduki oleh raja dan alim
ulama, ditambah pembesar kerajaan. Kini sap tersebut bisa saja duperuntukan
bagi pejabat. Sementara pada sap yang kedua di duduki oleh kaum kerabat
terdekat, sedangkan pada sap yang ke3 buat masyarakat umum.
Dalam tradisi saprahan ada yang unik
yakni tatacara atau tampilan hidangan. Andaikata mangkuk yang digunakan dalam
hidangan yang berwarna putih, maka semua tempat diseragamkan dengan warna yang
sama. Biasanya tempat tersebut terbuat dari keramik atau alumunium putih
dilengkapi dengan kain lap atau serbet. Hidangan ini dibawa oleh kelompok atau
grup pembawa saprahan dengan berpakaian seragam, terdiri dari 3 atau 5 petugas
juga memakai sarung tangan dan kaus kaki putih.
Berpakaian khas telok belanga
berkain corak insang dengan sopan santun yang dijunjung tinggi menerima tamu
diperlukan kejelian bagi yang mendapat tugas tersebut.Bagaimana ketika mereka
harus pandai memilih siapa tamu yang datang dan harus ditempatkan pada sap yang
mana, sesuai dari ketokohan dan strata sosial dari undangan yang datang. Jika
sap sudah penuh maka dengan segera disiapkan hidangan dihadapan para undangan”
jumlah petugas yang telah ditentukan tidak boleh diganggu oleh orang lain.
Mereka harus pandai meletakan serta menata lauk pauk serta hidangan. Letak
mesti sejajar seperti kepala ikan yang menghadap ketimur, maka rangkaian barang
yang diberikan semuanya diatur sama,”jika ada yang berlawanan arah, maka akan
menjadi sumbang hilang kesan kebersamaan, keseragaman, serta kekompakan.
Undangan jika melihat hal tersebut sumbang maka dengan segera memberitahu
dengan pengantar agar segera dibetulkan posisinya. Namun semestinya yang
ditugaskan harus jeli meletakannya.
Sementara ketika undangan makan,
sebagian mereka harus hilir mudik memperhatikan lauk-pauk yang ada di depan
para undangan. Jika habis harus segera diganti dengan tatacara tertentu.
“Jangan pernah sekalipun menganti lauk yang habis dengan membawa makanan dari
dapur kepiring di depan undangan, kemudian memindahkan makanan tersebut ke
dalam piring yang telah dipakai sebelumnya.
Tradisi makan saprahan ada istilah
yang disebut dengan kepala paret. Kepala paret yang ditunjuk adalah yang duduk
pada sap yang paling depan atau pada bagian atas. Kepala paret menentukan
memulai acara makan maupun menutup acara makan, ketika kepala paret memulai
makan barulah diikuti dengan yang lainnya dan begitu juga jika kepala paret
mengakhiri maka yang lain juga harus mengikutinya, jika masih dilanjutkan oleh
yang lain disebut dengan selak’ atau buaya’. “Implementasinya adanya perasaan
senasib, kebersamaan,sopan santun, menghargai yang dituakan atau menghargai
pemimpin, karena pemimpin sudah menunjukan tatacara budi bahasa yang baik,
penuh dengan kesopan. Adanya saling menghormati memuliakan pemimpin, tamu dan
tidak boleh ada yang saling mendahului. Yang pasti semakin sering duduk dan
makan di dalam kebersamaan maka semakin kental tali persaudaraan sesamanya.
Pada zaman dahulu posisi kepala
paret sudah pasti raja. Namun untuk saat ini bisa saja diduduki oleh para
pejabat, atau mereka yang dituakan. Kepala paret memang betul-betul
diistimewakan. Mereka dengan hidangan khusus, dalam penyajian dilengkapi dengan
mampan berwarna emas, tempat cuci tangan dan lap tangan bersih. Memulai makanan
maka ahlul bait (tuan rumah) mempersilakan dengan hormat kepada kepala paret
untuk segera memulainya
- · Suguhan Makanan Tersaji Dalam Tiga Gelombang
Tiga gelombang yang disebut dengan
tiga sesi hidangan yang berbeda undangan yang hadir pada suatu majelis.
Biasanya ada kesepakatan dari ahli tuan rumah berupa nasi putih, sayur ikan
pedas, sambal belacan,ayam,ikan asin,pisang raja atau pisang hijau, bahkan juga
ada ditambah dengan makanan khas cencalok (anak udang halus yang diberi
sambal), buduk” seperti biasa jika kepala paret sudah selesai makan diikuti
dengan yang lain dengan meletakan sendok dengan cara terbalik, akan tetapi
umumnya dilakukan dengan mengunakan tangan, tanpa sendok. Untuk acara kedua
dimulai lagi seperti semula. Lazim disebut dengan gelombang kedua juga dengan
kata-kata menunggu gelombang ke dua berupa hidangan pencuci mulut, kue-kue
dengan segelas kopi dalam ukuran cawan kecil disebut dengan kopi mak jande”,
kue berupa bingke berendam, belodar, roti kap. Pada acara berikut dengan
menunggu gelombang ke tiga hidangan yang dikeluarkan ialah air serbat (air yang
terbuat dari ramuan berwarna merah hati). Air serbat (aek penguser) sebagai
tanda yang disebut dengan kode” bahwa acara sudah berakhir bagi undangan segera
meninggalkan tempat jamuan. Akhir acara kepala paret menunjuk seseorang untuk
membaca salawat nabi. Dalam acara makan saprahan tidak bisa dikerjakan
sembarangan karena setiap tata cara mengandung kearifan local dan penuh dengan
nilai-nilai yang dalam hal ini jika dihayati dan diambil arti atau maksudnya
tersebut maka akan bermakna.
Pantangan yang berlaku dalam jamuan
makan saprahan ialah jangan berbicara kotor serta keji, jangan berludah, jika
ada yang bersin maka dengan segera meninggalkan tempat dan digantikan dengan
yang lain. Para undangan dilarang mengambil bagian yang bukan dihadapannya.
Secara teoritis adat dalam tradisi saprahan sangat merunut pada teori Maslow
yakni menempatkan kebutuhan makan dalam hierarki atau sebuah system. Tidak ada
batasan siapa yang berhak mengadakan makan saprahan, karena dalam tradisi
saprahan memiliki sifat serta kegunaan tertentu dan kadang tak terlepas dari
tujuan adat dari tujuan tersebut bagaimana interaksi masyarakat untuk saling mengakrabkan
diri, saling mengenal satu sama lain, rasa kebersamaan tercipta sesama warga.
Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam
Acara Saprahan :
1. Nilai Kebersamaan
Pada dasarnya upacara saprahan itu
sifatnya transparan, diikuti oleh seluruh warga kaum kerabat dan adanya gotong
royong sebelum acara dimulai. Pelaksanaan dikoordinir para keluarga besar.
Dengan mencerminkan rasa kebersamaan dan kekompakan yang tinggi di mulai dari
awal sampai akhir persiapan, pelaksanaan hingga berakhirnya kegiatan.
2. Nilai Ketaatan
Nilai ini tercermin adanya dorongan
dalam diri warga masyarakat untuk melaksanakan tradisi yang turun temurun
sifatnya,khususnya acara saprahan. Hal ini adanya rasa menghormati pemimpin
yang dianggap bisa mewakili kepentingan masyarakatnya atau juga yang dianggap
dituakan sangat dihormati, hal ini merupakan manifestasi dari ketaqwaan seorang
insan yang diungkapkan di dalam sebuah hadis, taat kepada Allah SWT, taat
kepada Rasul, dan taat kepada pemimpin. Adanya rasa keterikatan secara otomatis
menciptakan rasa persatuan dan kesatuan sesama umat yang harus dapat
dipertahankan agar acara seperti ini menjadi sebuah identitas masyarakatnya.
3. Nilai Religius
Dari pelaksanaan upacara saprahan
dapat dilihat bahwa di dalam menghadapi hidangan yang dianugrahkan Allah SWT
tidak terlepas dari acara berdoa dan ditutupi dengan membaca salawat kepada
nabi, agar di dalam acara tersebut mendapat berkah serta pahala dan selamat
dari musibah dan bencana.
Pelaksanaan acara saprahan dapat
mengikat persatuan dan kesatuan yang pada akhirnya dapat menumbuhkan identitas
diri masyarakat yang bersangkutan, terutama dari nilai kebersamaan, kegotong
royongan dan kekompakan yang diwujudkan dalam rangkaian upacara tersebut.
Nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan pada generasi muda melalui pendidikan
non formal di rumah atau dilingkungan social maupun pendidikan sekolah secara
formal. Selanjutnya acara saprahan perlu dilakukan secara berkesinambungan
untuk melestarikan salah satu adat budaya bangsa guna memupuk kerjasama antar
warga hingga memperkokoh rasa identitas bersama.
C.PENUTUP
c.1 Kesimpulan
Istilah Melayu atau Malayu berasal
dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai
Batanghari, Jambi di pulau Sumatera. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal
dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk
asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki
hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak
Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat “a” seperti bahasa
Melayu Baku.
Suku Melayu di Kalimantan Barat
tersebar luas hampir di semua kabupaten dan kota. Setiap suku memiliki nama dan
karakteristik yang berbeda. Suku Melayu di Kalimantan Barat antara lain Melayu
Pontianak, Melayu Singkawang, Melayu Mempawah, Melayu Sambas, Melayu
Bengkayang, Melayu Sanggau, Melayu Sekadau, Melayu Sintang, Melayu Kapuas Hulu,
Melayu Kubu, Melayu Sukadana dan Melayu Ketapang. Peninggalan sejarah dan
budaya Melayu di Kalimantan Barat tercermin pada peninggalan Keraton yang
terdapat di seluruh kabupaten/kota. Adat dan tradisi masih dilestarikan secara
turun temurun oleh generasi penerusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar